วันพุธที่ 21 กรกฎาคม พ.ศ. 2553

วันอาทิตย์ที่ 18 กรกฎาคม พ.ศ. 2553

MP3 Ceramah: Tuan Guru Haji Ismail Sepanjang al-Fatoni (Baba Ismail)

Judul: Bakurah al-Amani li Irsyadi ‘Awami Ahlil Fathani (باكورة الأماني لارشلد عوام أهل الفطاني)

Kategori: Tauhid/Aqidah

Pengarang: al-‘Allamah Syaikh Wan Ismail bin Wan ‘Abdul Qadir al-Fathani (lahir pada 1300H/1882M di Bendang Daya, Fathani dan wafat di Mekah pada 3 November 1965M ketika berusia 83 tahun)

Tarikh selesai dikarang: 14 Rajab 1335 bersamaan 15 Mei 1917M

Kitab Bakurah al-Amani atau nama lengkapnya Bakurah al-Amani li Irsyadi ‘Awami Ahlil Fathani (باكورة الأماني لارشلد عوام أهل الفطاني), merupakan antara kitab tauhid yang terkenal di Tanah Melayu sehingga kini. Ianya ditulis oleh al-’Alim al-’Allamah Syaikh Wan Ismail bin Wan ‘Abdul Qadir bin Wan Musthafa, atau dikenali juga dengan nama Pak Da ‘El al-Fathani. Kitab ini merupakan sebuah kitab yang ringkas, hanya kurang lebih 10 halaman namun isinya padat. Kitab ini ditulis oleh Pak Da ‘El sewaktu beliau berziarah ke negeri Kedah atas permintaan murid-muridnya. Ianya ditulis secara spontan, berdasarkan ingatan beliau sahaja. Tarikh kitab ini selesai di tulis adalah pada tahun 1335H/1916M atau tepatnya pada hari Sabtu 14 Rajab 1335 bersamaan 15 Mei 1917M. Kitab ini pernah di cetak oleh Matba’ah al-Ikhwan, Singapura pada tahun 1918M.

Menurut ceritanya, sejarah penulisan kitab ini adalah dari permintaan muridnya yang bernama Haji Ahmad supaya Pak Da ‘El karangkan secara ringkas matan ilmu tauhid bagi memudahkan anaknya Mat Hasan yang masih memondok agar membantunya dalam memahami ilmu tauhid. Maka permintaan itu diperkenankan oleh Pak Da ‘El, dan terhasillah kitab yang terkenal ini.

Oleh kerana kitab ini ringkas dan padat isinya sehingga sesetengah orang kerana gagal dalam memahami ‘ibaratnya, bahkan dibangkang oleh sesetengah orang, maka Pak Da ‘El telah diminta pula supaya menulis syarah bagi kitab ini. Beliau kemudian menulisnya dan diberi judul Tabshirah al-Adani bi Alhan Bakurah al-Amani (تبصرة الأداني باءلحان باكورة الأماني), selesai ditulis pada 25 Muharram 1358H / 16 Mac 1936.

Kitab Bakurah al-Amani, sehingga kini diajarkan dipondok-pondok. Bahkan merupakan sebuah teks utama di dalam ilmu tauhid. Antara tuan guru yang mengajar kitab Bakurah: Tuan Guru Haji Ismail Spanjang, Tuan Guru Haji Salleh Sik, Tuan Guru Haji Zakaria dan ramai lagi

Rujukan: Pondok Habib


Download Kuliah
Credit to: Saudara Zul

001. Kitab Bakuratul Amani Siri 001
Download: http://www.mediafire.com/?nivztlywn4k

002. Kitab Bakuratul Amani Siri 002
Download: http://www.mediafire.com/?0egjmjhoxmn

003. Kitab Bakuratul Amani Siri 003
Download: http://www.mediafire.com/?yu3yngz0xmm

004. Kitab Bakuratul Amani Siri 004
Download: http://www.mediafire.com/?dtz30rwny2y

005. Kitab Bakuratul Amani Siri 005
Download: http://www.mediafire.com/?v1zxym42fl2

Tambahan 31 Ogos 2009
006. Kitab Bakuratul Amani Siri 006
Download: http://www.mediafire.com/?kdnjdtzzoxt

007. Kitab Bakuratul Amani Siri 007
Download: http://www.mediafire.com/?uan0kddolxr

008. Kitab Bakuratul Amani Siri 008
Download: http://www.mediafire.com/?ydf4m2zntzy

009. Kitab Bakuratul Amani Siri 009
Download: http://www.mediafire.com/?t22egomojnn

010. Kitab Bakuratul Amani Siri 010
Download: http://www.mediafire.com/?ymhdnrnmnnj

Tambahan 7 September 2009
011. Kitab Bakuratul Amani Siri 011
Download: http://www.mediafire.com/?oyfjtyjtynm

012. Kitab Bakuratul Amani Siri 012
Download: http://www.mediafire.com/?hjzz5mjx5mz

013. Kitab Bakuratul Amani Siri 013
Download: http://www.mediafire.com/?mujyzdmoqmm

014. Kitab Bakuratul Amani Siri 014
Download: http://www.mediafire.com/?uv2n3j2z122

015. Kitab Bakuratul Amani Siri 015
Download: http://www.mediafire.com/?zzdlmgmlnvz

Tambahan 14 September 2009
016. Kitab Bakuratul Amani Siri 016
Download: http://www.mediafire.com/?wqyzliydtvm

017. Kitab Bakuratul Amani Siri 017
Read more >>

วันศุกร์ที่ 16 กรกฎาคม พ.ศ. 2553

Sifat-sifat Allah

Wajib bagi setiap mukallaf dan muslim mempercayai bahawa terdapat beberapa sifat kesempurnaan yang tidak terhingga bagi Allah. Maka, wajib juga dipercayai akan sifat Allah yang dua puluh dan perlu diketahui juga sifat yang mustahil bagi Allah. Sifat yang mustahil bagi Allah merupakan lawan kepada sifat wajib.

Sifat wajib pula terbahagi juga empat bahagian iaitu nafsiah, salbiah, ma'ani atau ma'nawiah.
Isi kandungan
[sorok]

* 1 Sifat 20
* 2 Sifat kesempurnaan
* 3 Sifat yang harus
* 4 Lihat juga

**********sila copy link ini untuk lihat isi tambah http://ms.wikipedia.org/wiki/Sifat-sifat_Allah
Read more >>

วันอาทิตย์ที่ 11 กรกฎาคม พ.ศ. 2553

Memulai Dari Diri Sendiri

Memulai Dari Diri Sendiri. Yang paling berperan dalam diri manusia untuk mengendalikan setiap gerak-geriknya adalah pikiran dan hati, kedua unsur ini selalu ingin disinergikan yang akan melahirkan prinsip hidup.

Namun,tidak tertutup kemungkinan antara pikiran dan hati sudah tidak bisa disatukan lagi maka lahirlah kemunafikan, sehingga apa-apa yang diucapkan mulut hanya sekedar berita dan kabar kosong dan janji-janji manis belaka.

Dengan inteligensinya,manusia itu bisa terbang lebih tinggi dari burung dan sanggup menyelam lebih dalam dari ikan, mungkin hanya nyawa saja yang tidak bisa dibuat manusia abad ini. Namun, intelegensi tampa hati sebagai penyaring dari segala macam rencana akan melahirkan kerusakan dan ketimpangan dalam bidang-bidang tertentu. Banyak sudah bentuk kerusakan sampai memakan korban jiwa dan materi yang tidak terhingga itu semua bersumber dari kecerdasan inteligensi manusia tanpa diiringi kecerdasan spiritualitasnya sebagai makhluk sosial.

Makhluk Allah yang paling mulia dipermukaan bumi ini adalah manusia yang menyebabkan manusia itu mulia adalah karena terdiri dari struktur akal pikiran dan hati yang dianugerahkan oleh Allah SWT, akal pikiran (intelegensi) dan hati (spiritual) inilah yang akan menjadikan manusia itu benar-benar menjadi seorang manusia. Jadi akal pikiran dan hati nurani tersebut bukan hanya sekedar onggokan daging tampa arti. Dia akan sangat berarti jikalau manusia yang punya dua unsur diatas sanggup menjadikannya sebagai landasan dalam bertindak.

Hari ini gaya hidup (life style) yang menyangkut, pilihan pekerjaan, kesibukan, makanan, mode pakaian, gaya bicara dan kesenangan-kesenangan semu lainya dalam masyarakat telah mengalami perubahan yang sangat mengecewakan. Cara hidup global yang lebih moderen dan cendrung berorientasi kebarat – baratan telah merasuki sisi – sisi kehidupan umat manusia saat ini, tanpa kecuali umat Islam. Akibatnya banyak perilaku menyimpang yang terjadi bahkan sudah dianggap hal biasa. Anak hidup dengan cara dan gayanya, orang tuapun semakin sibuk dengan pekerjaannya

Sebagai umat Islam yang konsisten dengan doktrinya, sudah seharunya memiliki kepribadian yang mencerminkan kemuliaan dan kesucian ajaranya,yaitu akhlakul karimah. Maju mundurnya ajaran ini,sangat tergantung baik atau buruk perilaku dari penganutnya sendiri, baik perilaku secara individual maupun secara kelompok. Saat ini, dimana berbagai pengaruh asing yang masuk tak terkendali ini harus selalu diwapadai dengan menekankan pada diri, keluarga, dan masyarakat untuk membudayakan akhlak terpuji dalam setiap lini kehidupannya.

Husnuzzan kepada Allah adalah satu dari rajutan akhlak karimah yang diperintahkan untuk menerapkannya. Ini bermakna selalu berprasangka baik ( positive thinking ), terhadap apa-apa yang diberikan Allah SWT pada kita. Sebaliknya larut dalam sangkaan buruk /su’uzzan ( negative thinking ) apalagi terhadap Allah akan membuat hidup selalu gelisah, cemas, stress bahkan sampai depresi dan tekanan jiwa lainnya.

Kalau kita mau menyelami lebih dalam lagi tentang kekuasaan Allah didalam menciptakan alam plus isinya ini, adalah merupakan rahmat yang paling spektakuler dalam seluruh ciptaan-Nya, dan semua ini adalah untuk dan demi manusia. Rahmat dalam artian yang sebenarnya adalah segala sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat dan nikmat yang besar. Namun, untuk merengkuh rahmat Allah ini, setiap manusia akan selalu dituntut untuk terus menggali dan memperlajari melalui ilmu pengetahuan. Allah SWT, dalam setiap tingkatan tidak pernah membeda-bedakan umat manusia dalam usaha meraih manfaat dari nikmat-Nya, hal ini tentunya harus melalui usaha yang sungguh-sungguh dan terarah dari manusia itu sendiri.

“ Allah yang telah menundukan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya,dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukan untukmu apa yang dilangit dan dibumi semuanya ( sebagai rahmat ) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” ( QS. Al Jasiyah : 12-13 )

Memang ada sebagian manusia yang tidak beruntung didalam meraih nikmat Allah,hal ini bukan berarti Allah itu benci terhadap orang tersebut. Dalam hal ini ada baiknya dilakukan dulu evaluasi,mungkin ada dari syarat kualitas atau kemampuan yang belum maksimal dilakukan. Didalam situasi dan kondisi ini yang sangat dibutuhkan adalah kesabaran yang mendalam, doa yang khusyuk dan tawakal. Prestasi / prestise apapun bentuknya hanya akan menghampiri manusia yang dengan gigih berusaha didalam hal mewujudkan keinginannya. ” Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” ( QS. An Najm : 39 )

Manusia harus selalu berpositife thinking dan menganggap bahwa tidak ada yang sia-sia diciptakan Allah dipermukaan bumi ini, dari ini semua diharapkan akan lahir sikap untuk selalu introspeksi diri dalam setiap ruang dan waktu yang diberikan-Nya. Dengan demikian jiwa akan bersih jauh dari penyakit hati, rasa syukur yang dalam serta akan dapat memacu semangat untuk lebih agresif penuh inovatif dalam berusaha dan beramal.

Selain itu perilaku giat yang didorong rasa optimisme yang tinggi akan melahirkan rasa percaya diri dan nilai positif dalam segala bentuk usaha. Keyakinan ini akan melahirkan sugesti yang kuat dan lapang dada dari para pelakunya,guna mewujudkan hasil yang seimbang baik untuk dunia (materi) maupun untuk akhirat (amal ibadah).

Berfirman Allah. ”…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah (nasib) suatu kaum sehingga mereka mau mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” ( QS. Ar Ra’du : 11 ). Dan firman-Nya lagi. ” …Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir “. ( QS. Yusuf : 87 ). Yang diperkuat lagi dengan hadis qudsi. ” Aku selalu menurutkan sangkaan hamba-Ku,jika ia baik sangka kepada-Ku maka ia dapat dari apa yang ia sangkakan. Dan jika ia buruk sangka kepada-Ku maka ia mendapat apa yang ia sangkakan kepada-Ku.” ( Hr. At Thabrani dan Ibnu Hiban )

Memang sesuatu hal yang sangat manusiawi sekali kalau setiap orang selalu memiliki keinginan untuk meningkatkan taraf kehidupannya hari demi hari. Ajaran Islam pun selalu membukakan jalan kearah itu. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa Islam bukan ajaran yang memiskinkan umatnya,tapi ajaran Allah ini selalu mendorong umatnya mencari kekayaan dan kesuksesan sampai pangkat dan jabatan, dengan mendorongnya untuk giat dan rajin bekerja dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan syariat. Islam tidak ingin umatnya miskin dan papa,karena hal ini dekat dengan kekufuran bahkan bisa kafir.

Sebagai stimulasi untuk meraih kekayaan dan kesuksesan itu Allah memberikan jalan. ” Apabila telah ditunaikan shalat,maka bertebaranlah kamu dimuka bumi,dan carilah karunia Allah (rizki) dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” ( QS Al. Jumuah : 10 )

Selain itu islam selalu menyuruh umatnya untuk selalu berinisiatif yang merupakan rangkaian sifat terpiji yang harus selalu dikembangkan, diharapkan akan lahir sikap mandiri dengan mendayagunakan segenap kemampuan intelegensi dan spiritualilitasnya guna meraih suatu keberhasilan dan kesuksesan di dunia dan di akhirat.

Berbagai bentuk penyimpangan sosial yang kerap terjadi akhir-akhir ini menandakan bahwa sebagian masyarakat sudah mulai meninggalkan nilai dan norma yang dianut selama ini. James W. Van der Zenden, menyatakan bahwa penyimpangan sosial itu merupakan suatu prilaku yang oleh semua orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.

Tak bisa kita pungkiri realita dari berbagai bentuk penyimpangan sosial yang kita temui sehari-hari telah mengikis sedikit demi sedikit nilai moral yang selama ini menjadi ikon dinegara kita. Penjarahan uang negara ( korupsi ), perampokan, tawuran yang bukan saja dilakukan para pelajar, tak mau ketinggalan juga para kaum intelektual mahasiswa bahkan sampai para wakil rakyat. Pembunuhan, penyalahgunaan narkoba, tindakan kekerasan dalam institusi pendidikan (senior vs yunior) yang berakhir pada kematian dan kini rakyat dibingungkan dengan banyaknya calon pemimpin yang disodorkan parpol plus dengan janji-janjinya masing-masing dsb, telah memperburuk sisi-sisi kehidupan manusia Indonesia yang notabenenya sebagai makhluk sosial dan berperadapan ini.

Seharusnya, sebagai manusia yang memiliki adat dan budaya, harus saling melindungi dan saling menghargai antar sesama,sudah seharusnya mengedepankan asas musyawarah dan mufakat, tolong menolong guna mencapai tujuan hidup bersama. Islam sebagai agama yang rahmatan lil allamin didalam usaha mencerminkan akhlakul karimah akan selalu memberikan jalan dan kekuatan luar biasa kalau setiap manusia dengan penuh kesadaran menjalankan setiap perintah dan mengentikan setiap larangan-Nya.

Karena itu Islam sangat menganjurkan untuk memulai hari-hari kita dengan kebaikan yang harus bersumber dari kejujuran hati. Dalam pandangan Islam manusia yang baik itu adalah,manusia yang menjaga dan mengamplikasikan akhlak terpuji dalam kehidupannya sehari-hari. Janganlah sekali-kali berniat menodai Islam,dengan perilaku yang mencemarkan kesucian dan keagunganya mulailah segala bentuk kebaikan itu dari diri sendiri. mengawali hari-hari kita dengan kesan baik,dengan mengucapkan kata-kata positif tentang diri sendiri dipagi hari insya Allah sampai sore bahkan malamnya diri akan tetap dinaungi kebaikan.
Read more >>

วันศุกร์ที่ 9 กรกฎาคม พ.ศ. 2553

HADITS-HADITS TENTANG KEISTIMEWAAN DAN KEKHUSUSAN HARI JUM’AT

Hari Jumat adalah hari yang memiliki arti yang sangat istimewa bagi ummat Islam karena merupakan hari raya bagi mereka. Sangat banyak hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan dan kekhususan hari Jumat dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahulloh dalam kitabnya Zaadul Ma’ad memuat hadits-hadits tersebut hingga beliau berkesimpulan paling tidak ada 33 kekhususan hari Jumat dari hari-hari yang lain.
Al Hafizh Suyuthi menulis kitab yang beliau beri judul Al Lum’ah fi Khashoish Al Jumu’ah. Beliau di kitab ini menyebutkan hadits-hadits yang sangat banyak -termasuk diantaranya hadits-hadits lemah- yang menerangkan keutamaan dan kekhususan Jumat; dimana beliau berkesimpulan ada 101 kekhususan Jumat dari hari selainnya.
Di silsilah pertama dari kumpulan hadits-hadits tentang Jumat kali ini kami memilihkan untuk antum sekalian hadits-hadits yang insya Allah dijamin keabsahannya yang kami cukupkan dengan sepuluh point kekhususan hari Jumat dari sekian banyak kekhususannya, Wallohu Waliyyut Taufiq.
1. Hari Ied (hari raya)yang Berulang Setiap Pekan

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيدٍ جَعَلَهُ اللَّهُ لِلْمُسْلِمِينَ فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ »

Dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari ini (Jumat) Allah menjadikannya sebagai hari Ied bagi kaum muslimin, maka barangsiapa yang menghadiri shalat Jumat hendaknya mandi, jika ia memiliki wangi-wangian maka hendaknya dia memakainya dan bersiwaklah” (HR. Ibnu Majah dan haditsnya dinyatakan hasan oleh Al Albani)
Diantara fiqh hadits :

• Setiap ummat memiliki hari Ied (hari raya)
• Hari Ied bagi kaum muslimin dalam setiap pekannya adalah hari Jumat
• Disyariatkannya mandi bagi setiap yang mau menghadiri shalat Jumat
• Pada saat menghadiri shalat Jumat dianjurkan memakai wewangian bagi yang memilikinya dan juga diperintahkan bersiwak
• Disyariatkan mengagungkan hari raya
2. Diharamkan mengkhususkan berpuasa pada hari Jumat dan dimakruhkan mengkhususkan malamnya untuk shalat malam

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : « لَا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ » (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata, aku mendengar Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Jangan kalian mengkhususkan berpuasa pada hari Jumat kecuali jika engkau juga berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : « لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu dari Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam, beliau bersabda : “Jangan kalian mengkhususkan malam Jumat dari malam-malam lainnya untuk shalat lail dan jangan kalian mengkhususkan hari Jumat dari hari-hari lainnya untuk berpuasa kecuali jika bertepatan dengan waktu yang seseorang yang biasa berpuasa padanya” (HR. Bukhari dan Muslim,lafal hadits ini baginya)
Diantara fiqh hadits :

• Larangan mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa sunnah
• Boleh berpuasa sunnah di hari Jumat jika berpuasa sebelumnya atau sehari sesudahnya atau jika bertepatan dengan puasa yang memiliki sebab tertentu seperti puasa Arafah dan lainnya
• Larangan mengkhususkan malam Jumat untuk shalat lail
3. Disunnahkan membaca surat As Sajadah di rakaat pertama dan Al Insan di rakaat kedua pada saat sholat shubuh

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِـ”ألم تَنْزِيلُ” فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى وَفِي الثَّانِيَةِ “هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنْ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا”

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam membaca pada shalat shubuh di hari Jumat Alif Laam Miim Tanzil (surat As Sajdah) di rakaat pertama dan Hal Ataa ‘alal Insan Hiinun Min Ad Dahr Lam Yakun Syaian Madzkuura (surat Al Insan) (HR. Bukhari dan Muslim)
Diantara fiqh hadits :

• Perhatian para sahabat terhadap surat/ayat yang dibaca oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada saat shalat
• Penjelasan kadar bacaan imam pada saat shalat shubuh
• Disyariatkannya membaca surat As Sajadah di rakaat pertama dan surat Al Insan di rakaat kedua pada saat shalat Shubuh di hari Jumat
4. Pada hari Jumat ada waktu mustajab untuk berdoa

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ : « فِيهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ » وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda tentang hari Jumat, “Pada hari Jumat ada waktu yang mana seorang hamba muslim yang tepat beribadah dan berdoa pada waktu tersebut meminta sesuatu melainkan niscaya Allah akan memberikan permintaannya”. Beliau mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa waktu tersebut sangat sedikit. (HR. Bukhari dan Muslim)

Diantara fiqh hadits ini :
• Keutamaan berdoa pada hari Jumat
• Orang yang rajin beribadah adalah orang yang paling patut diterima doanya
• Anjuran untuk mencari waktu-waktu yang afdhal untuk berdoa
• Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan waktu ijabah pada hari Jumat; Al Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkan 42 pendapat para ulama beserta dalilnya dalam menentukan waktu tersebut. Diantara sekian banyak pendapat ada dua pendapat yang paling kuat karena ditopang oleh hadits shohih, yaitu :

Pendapat Pertama : Waktu antara duduknya imam di mimbar hingga selesainya shalat. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari radhiyallohu anhu dimana beliau berkata saya telah mendengar Rasulullah shalallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang waktu ijabah, “Waktunya antara duduknya imam di atas mimbar hingga selesainya pelaksanaan shalat Jumat”. Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, Baihaqi, Ibnul Arabi Al Maliki, Al Qurthubi, Imam Nawawi dll.

Pendapat kedua menetapkan waktu ijabah tersebut adalah ba’da ashar terutama menjelang maghrib. Pendapat ini berdasarkan beberapa keterangan yang disebutkan dalam hadits diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasaai dan lainnya dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallohu anhuma dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam beliau bersabda(artinya), “Hari Jumat 12 jam, padanya suatu waktu yang kapan seorang hamba muslim berdoa padanya niscaya Allah akan memberikannya, carilah waktu tersebut di penghujung hari Jumat setelah shalat Ashar”. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim, Adz Dzahabi, Al Mundziri dan Al Albani serta dihasankan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. Pendapat ini yang dipilih oleh banyak ulama diantaranya sahabat yang mulia Abdullah bin Salam radhiyallohu anhu, Ishaq bin Rahuyah,Imam Ahmad dan Ibn Abdil Barr. Imam Ahmad menjelaskan, “Kebanyakan hadits yang menjelaskan waktu tersebut menyebutkan ba’da ashar…”
5. Dianjurkan memperbanyak shalawat kepada Nabi di hari Jumat

عَنْ أَوْسِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : » إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ يَقُولُونَ بَلِيتَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ (رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه وأحمد)

Dari Aus bin Aus radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari yang afdhal bagi kalian adalah hari Jumat; padanya Adam diciptakan dan diwafatkan, pada hari Jumat juga sangkakala (pertanda kiamat) ditiup dan padanya juga mereka dibangkitkan, karena itu perbanyaklah bershalawat kepadaku karena shalawat kalian akan diperhadapkan kepadaku” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat yang kami ucapkan untukmu bisa diperhadapkan padamu sedangkan jasadmu telah hancur ?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi tanah untuk memakan jasad para nabi” (HR. Abu Daud, Nasaai, Ibnu Majah dan Ahmad dengan sanad yang shohih)
Diantara fiqh hadits :

• Keutamaan hari Jumat dibandingkan hari-hari yang lain
• Diantara kekhususan hari Jumat : Adam alaihissalam diciptakan dan diwafatkan padanya, hari kiamat dan hari kebangkitan juga terjadi padanya
• Perintah memperbanyak shalawat pada hari Jumat
• Shalawat yang kita peruntukkan kepada Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam akan disampaikan kepada beliau
• Jasad para nabi tidak hancur dimakan tanah
6. Hari Kiamat terjadi pada hari Jumat

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : » خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ « رواه مسلم

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jumat; padanya Adam diciptakan, dimasukkan ke surga dan juga dikeluarkan darinya serta kiamat tidak terjadi melainkan pada hari Jumat” (HR. Muslim)
Diantara fiqh hadits :

• Hari Jumat adalah hari yang terbaik diantara hari-hari yang ada
• Nabi Adam alaihissalam diciptakan, dimasukkan ke surga dan dikeluarkan darinya pada hari Jumat
• Kiamat terjadi pada hari Jumat
7. Seorang yang meninggal dunia di hari Jumat akan dilindungi dari siksa kubur

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ » (رواه الترمذي وأحمد)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallohu anhuma berkata, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia di hari Jumat atau pada malamnya melainkan Allah melindunginya dari fitnah kubur” (HR. Tirmidzi dan Ahmad serta dinilai hasan atau shohih oleh Al Albani berdasarkan banyaknya jalur periwayatannya yang saling mendukung dan menguatkan)
Diantara fiqh hadits :

• Keutamaan muslim yang meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat
• Adanya fitnah kubur
• Sebagian hamba Allah yang muslim diselamatkan dari fitnah kubur
8. Anjuran membaca surat Al Kahfi di malam Jumat dan pada hari Jumat

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنْ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Dari Abu Said Al Khudri radhiyallohu anhu berkata, “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi di malam Jumat niscaya Allah akan meneranginya dengan cahaya antara dia dengan Ka’bah” (Riwayat Darimi)

Keterangan : Sanad riwayat ini shohih mauquf dari perkataan Abu Said Al Khudri radhiyallohu anhu akan tetapi hukumnya marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam) karena pengabaran hal yang ghoib seperti ini tidak mungkin hanya berdasarkan pendapat pribadi para sahabat. Wallohu A’lam. Beberapa riwayat hadits menyebutkan kata hari Jumat.
Diantara fiqh hadits :

• Keutamaan membaca surat Al Kahfi pada malam Jumat dan hari Jumat
• Membaca surat Kahfi pada waktu di atas diantara amalan yang diganjar oleh Allah Azza wa Jalla berupa cahaya
9. Dibolehkan shalat di pertengahan siang di hari Jumat sebelum zawal

عن سَلْمَان الْفَارِسِيّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : » مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَتَطَهَّرَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ثُمَّ ادَّهَنَ أَوْ مَسَّ مِنْ طِيبٍ ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ إِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى « رواه البخاري

Dari Salman Al Farisi radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya kemudian memakai wewangian lalu menuju ke mesjid dimana dia tidak memisahkan antara dua orang (yang duduk di mesjid) lalu dia shalat sesuai dengan yang ditetapkan Allah (sekemampuannya) kemudian jika imam keluar dari tempatnya untuk berkhutbah dia diam mendengarkan khutbah niscaya akan diampuni dosanya yang terjadi diantara kedua Jumat” (HR. Bukhari)
Diantara fiqh hadits :

• Penjelasan beberapa adab yang harus diperhatikan pada saat menunaikan shalat Jumat
• Pahala Jumat berupa pengampunan dosa hanya akan diraih oleh hamba yang menjalankan adab-adab tersebut
• Bolehnya seseorang yang masuk di mesjid pada hari Jumat melaksanakan shalat sebanyak-banyaknya walaupun dipertengahan siang(zawal) hingga imam naik di atas mimbar. Diantara ulama yang menjelaskan masalah ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim dan Allamah Syamsul Haq Azhim Abadi rahimahumulloh.
10. Seseorang yang mandi di hari Jumat maka itu merupakan pembersih baginya hingga Jumat berikutnya

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم يَقُولُ : « مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ فِي طَهَارَةٍ إِلَى الْجُمُعَةِ الأُخْرَى ». (رواه الطبراني وغيره)

Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shalllallohu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat maka dia berada dalam keadaan suci hingga Jumat berikutnya” (HR. Thabrani, Abu Ya’la, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim. )

Keterangan : Hadits ini dinilai shahih oleh Suyuthi dan dinyatakan hasan oleh Mundziri dan disetujui oleh Albani
Diantara fiqh hadits ini :

• Anjuran mandi pada hari Jumat
• Keutamaan mandi pada hari Jumat dibandingkan hari-hari yang lain
Read more >>

วันอังคารที่ 6 กรกฎาคม พ.ศ. 2553

Salam kepada bukan Islam


DI TENGAH kalut kalangan umat Islam yang menonjolkan perjuangan Islam di sebalik isu ‘nama Allah’, yang pada saya ramai yang masih mengenepi kedaulatan Allah dari hati nurani, Tok Guru Nik Aziz memunculkan isu ‘boleh beri salam kepada bukan Islam.’

Secara moralnya, bagi saya Muslim wajib memberi salam (jaminan kesejahteraan) kepada bukan Islam, iaitu secara sikap moral dan tertanam dalam batin atau hati nurani. Malah itu berupa sikap akidah, yang tidak boleh dicuaikan jika kita benar-benar seorang Muslim – yang menyerah diri kita kepada konsep hidup Islam demi Allah.

Salam secara maknawi adalah menjamin kesejahteraan, keselamatan dan pembelaan terhadap sesama Islam mahu pun sesama manusia yang tidak bermusuhan, malah sedia bermuafakat dan membantu kita dalam menyempurnakan masyarakat berkerukunan dan saling membantu.

Jadi falsafah ucapan salam ialah menyedarkan kontrak sosial, terutamanya sesama umat Islam. Misalnya moral memberi salam menurut Nabi saw, Muslim yang berkenderaan patut dan utama memberi salam terlebih dahulu kepada yang berjalan kaki. Maknanya yang elit lebih layak menjamin keselamatan sesama yang lebih daif dan berkurangan. Bukan sebaliknya.

Dalam fekah, umat Islam dikehendaki menjamin keselamatan orang bukan Islam yang sewarga negara dengan kita. Agama, maruah, harta mereka wajib dipastikan selamat dari pencerobohan orang Islam. Malah dibenarkan menentang seperti menentang kafir harbi kepada Muslim yang melakukan kejahatan dan kezaliman kepada mereka yang telah menerima hidup berkerukunan dengan kita.

Kenapakah sedemikian ? Kerana agama Islam yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw melalui wahyu Al-Quran, bukanlah agama eksklusif seperti slogan “Islam milik orang Melayu”. Slogan begini menjadikan seseorang Muslim itu memaling agama suci anutan mereka menjadi agama eksklusif seperti Judaisme – agama Yahudi.

Ketika kita bersolat, kita membaca surah Al-Fatihah. Di hujung surah itu ayatnya ialah “ Ghairi al-maghdhuubi ’alaihim wala adh-dhaalliiin”. Ayat ini ditafsir oleh Nabi Muhammad saw sendiri. “ Al-Maghdhu” sebagai “ Al-Yahud” – Yahudi. “Wala adh-dhaallinn” sebagai “ An-Nashara”. Jadi melalui Al-Fatihah setiap solat kita, telah ditentukan Allah supaya kita tidak meng-eksklusif-kan agama kita bagai Yahudi, dan tidak pula tersesat ke dalam emosi apabila beragama Islam. Kita wajib tunduk kepada pengertian dan fahaman berdasarkan ilmu.

Dan apabila disebut ilmu, ada dua ilmu penentu kesucian, kemuliaan dan kesahihan agama kita, iaitu Al-Quran dan Sunnah yang berdasarkan sumber yang sahih segi sanad dan matannya. Hujah ini sahajalah merupakan kesucian agama.

Apabila disebut ulama khilaf dalam satu-satu hal, ia menunjukkan ketiadaan dalil kuat yang mendokong satu-satu pandangan itu secara muktamad. Maka di sini kita harus menggunakan akal yang mendalam, murni dan waras dengan keadaan semasa untuk membuat pilihan demi kebaikan agama kita. Malah dengan tujuan demi Allah, bukan demi nafsu dan prasangka emosional kita.

Bebalik kepada pandangan Tok Guru Nik Aziz tentang salam kepada bukan Islam, beliau dipetik oleh tabloid Siasah sebagai berkata: “Ada orang pernah tanya bolehkah orang Islam beri salam bila jumpa orang Cina atau India (bukan Islam). Setengah ulama kata boleh, setengah ulama pula kata tak boleh.”

“Jadi bagi ambo (saya), boleh. Sebab ia perkara khilaf. Bila ia cuma satu khilaf kenapa kita masih nak ambil yang tak boleh. Mana baik kita beri salam dengan tak beri salam.”

“Tambah-tambah dunia sekarang dunia orang tengah balah (bertelagah), kita beri salam maknanya selamat untuk kamu. Di mana tak baiknya beri salam.”

Dari kenyataan yang dipetik sebagai kenyataan Tok Guru di atas, satu kesimpulan kaedah fiqh dakwah Islamiyah telah diberi oleh Tok Guru.

(1) Dalam permasalahan khilaf, pemilihan yang tepat harus dilakukan,
(2) Pemiliohan itu harus berdasarkan maslahat dan hikmah demi Allah dan agama-Nya.
(3) Mendalami kehendak semasa dan mencitrakan Islam sebagai kemuliaan dari Allah melalui mengamalan ke dalam budaya umat.

Dalam hal salam ini, jika kita merujukkan kepada Bustanul Arifin yang dikarang oleh Syekh Nashr bin Muhammad As-Samarqandi, kita dapati beliau menyebut tentang adanya khilaf.

Berkata Syekh Syeikh Nashr : “Para ulama berselisih (khilaf) mengenai memberi salam kepada ahli zimmah. Sebahagian mereka memperbolehkannya. Dan sebahagian lain melarangnya. Akan tetapi bila mereka memberi salam, kita boleh membalasnya dengan jawapan. Pendapat inilah yang kami anut.”

Menurut Syeklh Nashr, pihak yang membolehkan memberi salam kepada Ahli Zimmah berdasarkan pendapat Abdullah bin Mas’ud r.a. Sementara yang tidak membolehkannya pula, mengambil hujah dari Abdullah bin ‘Umar.

Untuk memberikan makna yang mendalam tentang hikmah agama Allah tentang memberi salam kepada bukan Islam ini yang dinyatakan oleh Tok Guru Nik Aziz itu, elok rasanya kita membuka Al-Quran dalam keadaan yang tenang, dan menghadap hati kepada Allah, lalu merenung ayat 84 hingga ayat 87 Surah An-Nisaa’.

Mudah-mudahan dicurahi hikmah ke dalam hati nurani kita. WaLahu a’lam bish-showaab !
Read more >>

วันจันทร์ที่ 5 กรกฎาคม พ.ศ. 2553

Memahami keperluan bermazhab (Bahagian 1 daripada 4)

Segala puji bagi Allah ta’ala Pencipta syariah yang sempurna. Salawat dan Salam ke atas junjungan mulia Rasulullah s.a.w. yang telah menyampaikan syariah tersebut sebaik-baiknya.



Juga ke atas keluarga dan sahabat-sahabat Baginda s.a.w. yang mempraktikkannya kepada ummah yang datang kemudiannya. Dan ke atas imam-imam mujtahidin yang telah banyak berkorban dalam memimpin ummah ini dalam memahami syariah yang sempurna ini.

Pembaca yang dimuliakan, dewasa ini kita sering mendengar slogan-slogan yang memanggil kita ke arah pemahaman al-Quran dan Sunnah yang sebenar. Malah ramai di kalangan ahli-ahli akademik sendiri yang menyarankan agar kita mengkaji sendiri sedalam-dalamnya kedua-dua sumber asal syariah kita yang mulia.

Sehinggakan ada di kalangan mereka yang menyatakan bahawa al-Quran dan Sunnah adalah pedoman utama, dan tidak perlu kita bergantung atau mengikut mana-mana mazhab kerana tiada arahan spesifik daripada Baginda s.a.w. supaya kita perlu mengikut individu-individu yang tertentu dalam menghidupkan agama dalam diri kita.

Inilah slogan yang selalu kita dengar akhir-akhir ini, apabila ramai pihak melaung-laungkannya sambil menganggap bahawa bermazhab tidak akan membawa kita kepada kemajuan dan akan meninggalkan kita di bawah tempurung yang amat kecil.

Lalu mereka memberikan keizinan umum kepada semua pihak tidak kira golongan terpelajar atau tidak untuk mengeluarkan pendapat atau melakukan sesuatu amalan asalkan sumber yang didapati benar-benar sahih walaupun pendapat tersebut terang-terang berlawanan dengan pendapat yang telahpun dikeluarkan oleh imam-imam mujtahid yang datang beribu tahun sebelum kita.

Ada juga dalam kalangan mereka yang mengatakan bahawa terdapat pendapat imam tidak mengikut apa yang dinyatakan dalam hadis sahih, oleh itu tidak perlu kita mengamalkannya kerana kita hanya memerlukan sumber yang kuat sahaja dalam agama kita.

Lalu mereka menolak tarawih 20 rakaat, doa qunut pada waktu subuh, bacaan al-Fatihah di belakang imam dan pembatalan wuduk apabila tersentuh dengan wanita kerana pada "kajian" mereka amalan-amalan ini tidak bersandarkan kepada hadis-hadis yang sahih.

Benarkah begitu?

Pertama sekali perlu difahami bahawa untuk mengeluarkan sesuatu pendapat dalam bidang agama kita perlulah mengetahui A-Z bidang tersebut dan mestilah diiktiraf keilmuan kita mengenainya.

Perbuatan mengeluarkan pendapat tanpa ilmu yang diiktiraf adalah salah walaupun pendapat yang dikeluarkan adalah betul.

Sebaliknya, sekiranya seseorang itu sudah diiktiraf mencapai tahap yang mana dia mampu mengeluarkan pendapat berdasarkan sumber agama, lalu dia berfatwa atau berijtihad mengenai sesuatu perkara, maka dia tetap akan mendapat ganjaran walaupun ada kemungkinan untuknya mengeluarkan pendapat yang tidak tepat dalam perkara tersebut.

Seorang yang tidak mempunyai lesen perubatan sekiranya cuba merawat pesakit adalah dikira bersalah walau sehebat manapun ilmunya dalam bidang perubatan. Sekiranya untuk perubatan jasmani kita terlalu berhati-hati, apatah lagi bidang perubatan rohani?

Perlu diingatkan bahawa yang boleh mengiktiraf seseorang untuk menncapai taraf mujtahid hanyalah golongan-golongan yangg sudah mencapai tahap yang sama. Hanya pakar perubatan boleh mengiktiraf sama ada seorang pelajar perubatan sudah layak untuk merawat pesakit atau sebaliknya.

Diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud dari Jabir r.a. bahawa: "Satu ketika kami telah melakukan pengembaraan lalu salah seorang dari kami telah terkena batu lalu terlukalah kepalanya. Pada malamnya dia telah berihtilam (mimpi basah) lalu dia bertanya kepada teman-temannya: 'Adakah kamu semua mendapati sebarang kelonggaran untukku bertayammum (tanpa perlu mandi wajib)?'”

Mereka menjawab: 'Kami tidak menjumpai sebarang kelonggaran untukmu sekiranya kamu masih boleh menggunakan air.' Lelaki tersebut menunaikan mandi wajib dan terbukalah luka di kepalanya lalu dia meninggal."

Apabila kami sampai kepada Rasulullah s.a.w dan berita ini disampaikan kepadanya Baginda s.a.w bersabda: 'Mereka (yang berpendapat bahawa dia tidak boleh bertayamum) telah membunuhnya, semoga Allah ta’ala membunuh mereka! Mengapa tidak mereka bertanya sekiranya mereka tidak tahu? Sesungguhnya satu-satunya rawatan bagi kejahilan adalah dengan bertanya.'” (Abu Daud 1.93)

Setiap pendapat yang dikeluarkan oleh imam-imam mujtahid sebelum kita seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal adalah pendapat yang telah ditapis, dikaji dan dibahas sebelum mereka berfatwa mengenainya. Imam-imam tersebut akan terlebih dahulu mengambil kira pro atau kontra sesuatu ayat al-Quran dan Sunnah dan bukan hanya bersandarkan kepada sepotong hadis yang mereka temui.

Imam Malik misalnya tidak pernah mengeluarkan pendapat melainkan pendapat tersebut terlebih dahulu diutarakan dan dipersetujui oleh 70 ulama yang hidup pada zaman beliau.

Imam Abu Hanifah mempunyai majlis fatwa beliau yang terdiri dari puluhan ulama yang membahaskan kesemua masalah agama sebelum meluluskan sesuatu fatwa.

Kerana sifat berhati-hati inilah ulama Ilmu Rijal (ilmu berkenaan sejarah perawi-perawi hadis) sama sekali tidak pernah mempertikaikan imam-imam mujtahid dari segi kemampuan mereka berijtihad.

-----------------------------------------------------------------------------



REAKSI



Menangapi tulisan Abdul Latiff Rahbah: BERMAZHAB

Oleh edu global

Alhamdulillah, dengan izin-Nya semata saya telah dapat membaca bahagian satu tulisan Tuan Abdul Latif tentang memahami Keperluan Bermazhab.

Dari awal tulisan lagi sudah menampakan tentang situasi yang sedang melanda negara ini dimana sekarang ini tengah hangat diperkatan tentang menjamurnya fahaman dan kesadaran terutama kalangan terpelajar akan itikad kembali kepada Quran dan Sunnah seperti yang diserukan oleh beberapa Ulama yang mutabar.. bahawa untuk menjayakan umat Islam kita harus kembali kepada Al Quran dan Sunnah.

Saya yakin pada satu saat negara ini akan ada satu perukhan ketara dalam memahami Islam sesuai dengan perkembangan zamannya dimana sekarang dunia pendidikan di negara ini semakin maju, hampir disetiap negeri sudah ada universiti dan dalam universiti itu ada pengajian islam, maka sudah tentu ia akan ada penemuan penemuan yang dianggap baru oleh setiap pelajar dengan dan atas bimbingan Al Quran dan Sunnah.

Pemikiran kolot dan ortodoc akan lenyap..orang yang masih berpikir tentang hal sifatnya furu' akan ketinggalan zaman...dan digantinya dengan generasi Qurani yang penuh setia kepada kedua Sumber utama al Quran dan al Sunnah... seperti yang disebut oleh Sayid Qutub.

Adapun pahaman tentang bermazhab seperti yang ditulis oleh tuan Abdul Latif dan akan diteruskan dengan siri tulisannya akan berusaha mempertahankan pemahaman tentang pentingnya bermazhab yang empat Syafi'i, Maliki, Hambali dan Hanafi.

Sepatutnya penulis sebaiknya menjelaskan terlebih dahulu apa itu bermazhab. Walaupun telah banyak diperkatakan, tapi ianya perlu terutama bagi orang awam dan jahil seperti saya ini..dimulai dari awal timbulnya dan sampai kepada perkembangannya..

Secara singkatnya, mengulang fahaman bermazhab bahawa ia adalah teori imperialis barat, penjajah terutama Yahudi dan Nasrani untuk menghancurkan Umat Islam dan melumpuhkan dunia Islam. Dan ia memang betul. Melihat tulisan ini ia akan menyerang orang yang tidak Qunut, Fatihah dibelakang imam, tarawih 20 rakaat.

Kasian umat Islam, orang Yahudi dengan segala upaya akan berusaha untuk menghancurkan ummat Islam dengan segala caranya, kita masih berebut hal-hal yang sifatnya furu' (cabang) bukan yang prinsip aqidah dan lain-lain.

Setiap hari umat Islam dibunuh oleh Yahudi terutama di Palestin, ini masih asik bincang fasal qunut dan tak qunut...saya yakin tidak akan membawa pada penyelesaian....ia hanya membuang waktu dan tenaga...Orang kafir sudah berpikir yang lebih maju, umat Islam masih memikir hal yang sifatnya remeh temeh.

Sangat heran kenapa umat Islam ini suka sangat bertelagah terutama dalam hal furu'.. sepatutnya kalau menengok situasi hari ini sudah sepatutnya insaf untuk memikir macamana kita bersatu untuk mempertahan maruah,,untuk membela darah sendiri yang diinjak-injak, dihilangkan haknya oleh manusia yang zalim Yahudi dan Nasrani seperti yang berlaku di Palestin.

Sepatutnya pihak editorpun tidak patut memuat tulisan seumpama ini, kerana ia tidak mencerminkan kesatuan dan perpaduan.. justru memperuncing pada perpecahan..Ini bertentangn dengan missi Rabbani (al Quran)

Firman Allah:
Ertinya: "Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali Allah seraya berjamaah dan jangn berpecah belah" (AliImran 103).

Akhbar Harakah sepatutnya menjadi duta al Quran iaitu untuk menyatukan ummat bukan untuk memcahkannya..tulisan ini jelas akan memecahbelahkan pembaca antara yang pro dan contra...

"Wahai orang-orang yang berimantakutlah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takut..(al Imrah 102)..

Atas dasar ini, hentikanlah perbalahan kerana tidak akan membawa apa-apa manfa'at kecuali kehancuran...dan bersatulah semua kerana ia merupakan rahmat...hentikan saling serang menyerang antara kita, saling salah menyalah, sudah saatnya kita duduk semeja, bincang dengan suasana kondusif..bersatulah untuk memperkukuh saf perjuangan yang amat dikasihi Allah yang seumpama bangungan yang kuat lagi kukuh (al SAf:3),

Sekiranya ada perbezaan alQuran telah memberi panduan 'sekiranya kamu bertanazu'/berbeza pendapat, maka kembalikanlah kepada Allah (al Quran dan Rasul-Nya (al Sunnah) seperti yang disebut dalan surat al Nisa 59.

Kepada pihak editor sekali lagi saya harapkan muatlah tulisan yang sifatnya kearah mendidik kepada kesatuan dan persatuan dan bukan sebaliknya.

Kepada penulis saya harap tulislah yang lebih bermanfaat untuk mengarah kepada kekuatan saf kita sebagai ummat yang satu seiman se aqidah..fokuskan kearah macamna melawan pihak musuh yang saban hari saban detik memikirkan untuk menghancurkan ummat islam seperti orang Yahudi dan orang kafir yang lain..

Sekian, sekiranya tulisan ini benar, maka kebnaran datang daripada Allah, tapi jika sebaliknya, maka kesalahan dan kekeliruan itu datang dari kejahilan saya. Saya beristigfar atagfirullah, wallahu'alam.
Read more >>

Ilmu hadith belum cukup tanpa fiqh (Bahagaian 2/4)

Ilmuan-ilmuan Islam yang terkenal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud dan lain-lain imam muhaddithin yang mana mereka sudahpun menghafal ratusan ribu hadis masih tetap mengamalkan agama berdasarkan mazhab imam-imam mujtahid walaupun pada pandangan mata umum apalah perlunya mereka bertaqlid sedangkan mereka mempunyai ilmu agama yang jauh lebih daripada cukup?

Di sinilah bezanya antara fuqaha (ahli-ahli fiqh) dan muhaddithin (ahli-ahli hadith). Apabila seseorang itu mengetahui beribu hadis sekalipun, tetapi dia tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk membahaskannya, maka dia tidak layak untuk mengeluarkan sesuatu pendapat.

Mereka-mereka yang mempelajari Sunan Tirmizi pasti mengetahui bahawa apabila membincangkan masalah fiqh, Imam Tirmizi tidak pernah mengambil pendapat guru beliau Imam Bukhari, tetapi beliau menyebut nama-nama seperti Imam Malik, Imam Syafie, Imam Ahmad atau ulama Kufah iaitu Imam Abu Hanifah.



Imam Tirmizi hanya akan mengambil nama Imam Bukhari apabila beliau membahaskan kesahihan atau status sesuatu hadis, kerana beliau mengetahui bahawa walaupun Imam Bukhari adalah pakar dalam bidang hadis, tetapi kepakaran Imam Bukhari dalam ilmu fiqh belum dapat menandingi kepakaran yang ada pada imam-imam mujtahid.

Dapat kita fahami di sini, bahawa setinggi manapun ilmu hadith seseorang itu, belum tentu dia layak mengeluarkan fatwa sekiranya dia tidak mempunyai ilmu fiqh yang cukup. Sekiranya datang dua nas bertentangan antara satu sama lain, yang mana kedua-duanya adalah sahih dan sama kuat, yang mana satukah akan kita ambil? Ini hanya dapat dilakukan seandainya kita mampu memahami selok-belok ilmu fiqah, bukan dengan hanya bersandarkan kepada kesahihan semata-mata.

Sebagai contoh ingin penulis menceritakan di sini perbahasan antara dua imam mujtahid Abu Hanifah dan Awza’I mengenai masalah mengangkat kedua belah tangan selepas bangun dari rukuk. Imam Awza’i mengatakan: “Saya meriwayatkan dari Salim, dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahawa Rasulullah s.a.w. mengangkat tangan dalam solat Baginda s.a.w.”

Lalu Imam Abu Hanifah menjawab: “Saya meriwayatkan dari Hammad, dari Ibrahim An-Nakh’i dari ‘Alqamah dari Ibnu Mas’ud bahawa Rasulullah s.a.w tidak mengangkat tangan Baginda s.a.w.”

Imam Awza’i membalas: “Saya membawa sanad (rangkaian periwayat) yang lebih sedikit dan tuan ingin berhujah dengan sanad yang lebih perantaraannya?” (Mengikut pendapat ulama hadis, hadis yang lebih kurang perantaraannya antara perawi dengan Baginda s.a.w adalah lebih kuat dari hadis yang mempunyai lebih perawi, seperti yang tertera di atas bahawa antara Imam Awza’i dan Rasulullah s.a.w hanya tiga perawi dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah yang mempunyai empat perawi).

Jawab Imam Abu Hanifah: “Hammad lebih faqih daripada Salim, Ibrahim An-Nakh’i lebih faqih daripada Nafi’ dan ‘Alqamah lebih faqih daripada Ibnu Umar walaupun beliau adalah seorang sahabat Nabi s.a.w. Dan Ibnu Mas’ud adalah Ibnu Mas’ud (siapakah yang dapat menafikan kefaqihan Ibnu Mas’ud?).”

Di sini Imam Abu Hanifah mengambil kira faktor kefaqihan perawi dalam mengeluarkan fatwa dan bukan bersandarkan kepada kekuatan dan nilai sesebuah hadis semata-mata. Pun begitu perlu diingatkan bahawa menurut pendapat Imam Syafie mengangkat tangan selepas rukuk adalah sunnah kerana ia adalah amalan penduduk Tanah Haram dan Syam, yang mana terdapat sekurang-kurangnya 35,000 sahabat dikebumikan di Syam.

Dalam sebuah hadith riwayat Sunan, Nabi s.a.w. bersabda: "Semoga Allah ta’ala menyegarkan fikiran orang yang mendengar perkataanku, lalu dia menyampaikannya sepertimana yang dia dengar. Betapa ramai orang yang disampaikan itu lebih memahami dari si pendengar asal itu sendiri."

Di sini Nabi s.a.w. sendiri mengkategorikan antara mereka yang menghafal hadis dan mereka yang memahami hadis. Kerana itulah Imam A’mash salah seorang perawi Bukhari telah berkata kepada anak murid beliau Imam Abu Hanifah: “Kamu wahai golongan fuqaha’ adalah doktor dan kami (golongan muhaddithin) hanyalah penjual ubat.”

Dalam I’lam al-Muwaqqi’in Imam Ibnul-Qayyim meriwayatkan bahawa satu ketika Muhammad bin Ubaidullah bin Munadi telah mendengar seorang lelaki bertanya kepada guru beliau Imam Ahmad bin Hanbal: “Apabila seseorang itu menghafal 100,000 hadith, adakah dia dikira sebagai seorang yang faqih?” Imam Ahmad menjawab: “Tidak.”

Dia ditanya lagi: “Sekiranya 200,000 hadith?” Balas beliau: “Tidak.” Orang itu bertanya lagi: “Sekiranya 300,000?” dan sekali lagi Imam Ahmad menjawab tidak.

Kemudian orang itu bertanya: "Bagaimana sekiranya dia menghafal 400,000 hadith?” Lalu Imam Ahmad mengisyaratkan dengan tangan beliau, “Lebih kurang begitulah.”

Riwayat di atas memberi gambaran jelas kepada semua, dengan hanya mempelajari beberapa ribu hadis belum tentu kita mampu untuk melayakkan diri kita dalam mengeluarkan pendapat sewenang-wenangnya. Apatah lagi bila hanya tahu beberapa kerat hadis?

Mengapakah kita perlu bermazhab?

Inilah soalan yang sering diajukan oleh ghair muqallidin (golongan tidak bermazhab). Jawapannya amat ringkas: Apabila kita tidak mempunyai ilmu yang cukup maka wajib untuk kita mendengar mereka yang paling arif, dan sekiranya kita mempunyai ilmu yang cukup maka haram untuk kita mengikut mana-mana mazhab.

Ini bersesuaian dengan mafhum firman Allah ta’ala dalam surah al-Mulk apabila Allah ta’ala menceritakan perihal penduduk neraka: "Dan mereka berkata: 'Sekiranya kami mendengar (patuh) atau kami memahami (akan agama) maka sudah tentulah kami tidak akan menjadi penduduk Sa’ir (Neraka)'".

Walaupun ayat di atas adalah berkenaan dengan iman, tetapi memandangkan konteks ayat adalah luas maka ulama berhujah tentang betapa pentingnya patuh kepada yang mahir. Dan sekiranya kita tidak mahu patuh maka kita sendiri mestilah menjadi dari golongan yang berakal dan memahami sedalam-dalamnya.

Sekiranya kita tidak berhati-hati, maka dikhuatiri kita akan terjebak lalu tergelungsur jatuh dan jauh menyimpang dari kehendak syariah walaupun pada asalnya niat yang sebenar adalah untuk menegakkan hukum Allah di atas muka bumi bersesuaian dengan yang di bawa oleh Baginda s.a.w.

Amalan ulama yang jauh lebih mahir berbanding kita sendiri adalah hujah yang kuat betapa kita tidak sepatutnya dengan sewenang-wenang mengeluarkan pendapat sendiri. Nama-nama seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i, Ibnu Majah, Tahawi, Ibnu Hajar, Ibnu Rushd, Sayuti, Ibnu Kathir adalah antara mereka yang bertaqlid dengan imam-imam mujtahid yang datang sebelum mereka.

Golongan yang tidak mengikut mazhab pada hari ini banyak menggunakan pendapat Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim dalam membahaskan pendapat mereka. Tidakkah mereka sedar bahawa keduanya adalah antara ulama ulung dalam mazhab Hanbali? Dan mengapa tidak sahaja mereka digelar Taimi sekiranya mereka merasakan bahawa pendapat Ibnu Taimiyyah sahaja yang berasaskan al-Quran dan Sunnah?

Adakah imam-imam mujtahid terdahulu tidak memahami sunnah sedangkan zaman mereka jauh lebih dekat dengan zaman Baginda s.a.w. dan para sahabat kalau nak dibandingkan dengan Ibnu Taimiyyah yang datang enam hingga tujuh abad selepas imam-imam mujtahid?

Hakikatnya apabila kita berpegang kepada pendapat imam mujtahid, kita sudahpun berpegang kepada dalil dan tali yang kukuh. Imam Dzahabi seorang ahli sejarah yang terkenal dan alim mengenai ilmu-ilmu perawi hadis dalam kitab-kitab beliau tidak pernah berbahas mengenai imam-imam mujtahid. Ini kerana penerimaan umum dan kehebatan imam-imam mujtahid mencapai darjah mutawatir, iaitu mustahil untuk orang ramai bersepakat untuk berbohong dalam menyatakan keunggulan imam-imam tersebut.

Ghair muqallidin hari inipun lebih banyak berpandukan pendapat ulama yang tidak mengikut mazhab seperti mereka antaranya Syeikh Nasirudin al-Albani. Persoalannya sekarang apabila mereka mengikut al-Albani maka mereka sahajalah Ahlusunnah wal-jama’ah. Dan apabila kita terikat dengan pendapat-pendapat Syafie maka kita tidak digelar sebagai Ahlussunnah. Di manakah keadilan?

Jadi, apabila kita sedia maklum bahawa ilmu yang ada pada kita hari ini belum tentu cukup untuk kita berbahas segala dalil dalam sesuatu masalah agama, apakah hak kita untuk berijtihad apatah lagi memberi keizinan umum kepada orang-orang awam untuk berijtihad sendiri? Sedangkan tahap pemahaman dalam kalangan ulama ada bezanya, apakah perlu kita menyusahkan orang ramai untuk berfatwa?
Read more >>

Kenapa perlu memilih mazhab? (Bahagian 3/4)

Kita tidak berijtihad, tetapi kita memilih salah satu dari dua pendapat imam-imam. Bagaimana pula ini dikatakan sebagai ijtihad? Mengapa kita hanya perlu mengikut satu mazhab sahaja? Tidak bolehkah kita mencampur-adukkan semua pendapat dan memilih yang terbaik?

Menjawab persoalan di atas, ijtihad bermakna mengeluarkan pendapat. Apabila terdapat dua pendapat yang berlainan, memilih salah satu dari kedua pendapat itu juga dikira sebagai ijtihad. Ikhtilaf yang timbul antara mazhab hari ini sebenarnya adalah ikhtilaf dan perbezaan pendapat sejak zaman para sahabat lagi.

Sekiranya terdapat percanggahan pendapat antara dua sahabat, maka imam-imam akan terlebih dahulu meneliti yang mana satukah antara percanggahan tersebut yang lebih menepati syarak.

Hasilnya adalah ikhtilaf yang kita lihat pada hari ini. Imam Abu Hanifah lebih condong dalam memilih pendapat Ibnu Mas’ud misalnya dan Imam Syafie lebih kepada Ibnu Abbas. Tidaklah bermakna mereka tidak mengetahui pendapat sahabat-sahabat yang lain.

Jadi, apabila kita melihat terdapat dua pendapat yang berlainan, maka memilih salah satu ke atas yang lain juga dikira sebagai ijtihad kerana ini jualah amalan imam-imam mujtahid yang terdahulu. Dan untuk kita memilih salah satu dari pendapat tersebut kita mestilah mempunyai dalil dan nas yang cukup di samping mengetahui kesemua dalil dan nas, pro dan kontra masalah berkenaan.

Alasan bahawa kita tidak mengeluarkan pendapat dan masih berpegang kepada pendapat seseorang imam tanpa mengikut imam tersebut dalam lain-lain masalah adalah tidak dapat diterima sama sekali. Oleh itu sekiranya ada dalam kalangan kita yang mahu berbuat demikian, hendaklah dia fikirkan kesemua jawapan terhadap persoalan yang bakal dibangkitkan dari segi bahasa, usul, hadis dan lain-lain sebelum dia memilih untuk memilih sebarang pendapat kerana inilah yang telah dilakukan oleh mujtahid-mujtahid terdahulu.

Pernah satu ketika Khalifah Harun ar-Rashid mencadangkan kepada Imam Malik agar disatukan kesemua mazhab dan diambil yang terbaik. Jawapan Imam Malik ialah kesemua perbezaan pendapat adalah berdasarkan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Sekiranya diambil satu sahaja dari kesemua perbezaan tersebut dan ditinggalkan yang lain sedangkan ada kemungkinan yang ditinggalkan itu sebenarnya tepat maka seolah-olah kita meninggalkan sunnah Nabi s.a.w. Jadi tiada keperluan untuk menyatukan semua mazhab apabila kesemua sunnah Nabi s.a.w dapat diamalkan walaupun oleh berlainan puak.

Majoriti ummah pada hari ini membaca al-Quran dengan riwayat Hafs daripada Imam ‘Asim al-Kufi. Seperti yang diketahui umum, terdapat 10 qiraat hari ini yang masih boleh dibaca dalam solat. Di utara Afrika misalnya mereka membaca al-Quran dengan riwayat Qalun atau Warsh dari Imam Nafi’ Madani. Ulama qiraat mengatakan bahawa qiraat yang boleh dibaca pada hari ini hanyalah sepuluh dan setiap sepuluh qiraat tersebut mencapai darjat mutawatir (terlalu ramai bersepakat mengenai cara pembacaannya sejak zaman Rasulullah s.a.w sehingga kini sehingga mustahil untuk mereka berkomplot untuk menipu mengenainya).

Semua ahli qiraat bersetuju bahawa diperbolehkan untuk membaca kesemua qiraat dalam satu tilawah dengan cara kita membaca setiap ayat beberapa kali di samping mengkhatamkan setiap cara bacaan. Ataupun kita kumpulkan kesemua qiraat tanpa mengulang ayat tersebut berulang kali, sebaliknya menghabiskan setiap qiraat terhadap setiap perkataan. Untuk memahami hal ini lebih lanjut kita bolehlah mendengar tilawah dari Syeikh Abdul Basit atau dari bacaan Syeikh Na’ina misalnya.

Pun begitu ahli qiraat mengatakan ketika tilawah tidak dibolehkan membaca satu ayat dalam sesuatu qiraat, kemudian membaca ayat yang berikutnya dalam qiraat yang lain kerana perkara ini tidak pernah dilakukan oleh mana-mana pihak. Hal ini disepakati oleh semua sama ada pihak yang bermazhab atau selainnya. Jadi sekiranya kita tidak boleh mengambil qiraat dan membacanya bercampur-aduk dengan sesuka hati, bagaimana pula kita boleh mencampur-adukkan pendapat antara mazhab sesuka-hati?

Mengapa golongan yang tidak bermazhab dalam bidang fiqh bertaqlid dengan Imam Hafs dan Imam ‘Asim dalam bidang qiraat? Mengapa tidak mengatakan bahawa Imam ‘Asim tidak pernah memaksa sesiapun untuk bertaqlid dengan beliau? Mengapa soalan-soalan yang sering diutarakan dalam perbahasan fiqah langsung tidak pernah diutarakan dalam ilmu qiraat?

Sekiranya kita berpendapat perlu kita bertaqlid dengan Imam qiraat, maka tidak dapat tidak kita juga mesti bertaqlid dengan imam-imam mujtahidin.
Read more >>

Sejarah empat mazhab (Bahagian 4/4)

Bukankah imam-imam mujtahid sendiri tidak pernah memaksa sesiapapun untuk mengikut mereka? Dan bukankah Imam Syafie sendiri mengatakan bahawa apabila sahih sesebuah hadis maka itulah mazhabku?

Menjawab persoalan ini, memang benar imam-imam mujtahid sama sekali tidak pernah memaksa murid mereka mengikut mazhab atau pendapat-pendapat yang mereka keluarkan. Tetapi harus diingatkan bahawa imam-imam mujtahid tersebut mempunyai anak murid yang sudahpun mencapai tahap mempunyai kelayakan dan kemampuan untuk membezakan antara dua dalil.

Jadi perkataan Imam Syafie misalnya ditujukan kepada Imam Muzani, perkataan Imam Abu Hanifah ditujukan kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad.

Apabila Imam Syafie mengatakan bahawa, “Apabila sahih sesebuah hadis maka itulah mazhabku,” yang dimaksudkan ialah apabila sahih sesebuah hadis dan ia menepati usul yang telahku istinbatkan dari al-Quran dan sunnah maka itulah mazhabku. Ini dapat kita ketahui sekiranya kita mempelajari usul-usul dan kaedah istinbat yang ditetapkan oleh Imam Syafii rah.a sendiri.

Bukanlah sahih di sini bermakna sahih pada pandangan ahli-ahli hadis semata-mata. Sekiranya maksud Imam Syafie adalah seperti itu maka sudah tentu Imam Syafie akan mengatakan bahawa menyentuh wanita yang bukan mahram tidak akan membatalkan wudhu. Tetapi memandangkan terdapat dalil-dalil lain yang perlu diambil kira, maka langkah selamat ialah dengan mengatakan bahawa ianya membatalkan wudhuk.

Oleh itu, kita tidak boleh menganggap bahawa kesemua yang kita anggap sahih adalah mazhab Syafie melainkan kita sendiri sudah mencapai darjat Imam Muzani. Pun begitu tidak banyak fatwa Imam Syafie ditolak oleh pengikut beliau walaupun selepas kewafatannya.

Sekiranya maksud kalam Imam Syafie adalah seperti yang didakwa oleh mereka yang tidak bermazhab, sudah tentu pakar-pakar fiqah dan hadis seperti Imam Nawawi dan Hafiz ibnu Hajar akan mengubah fatwa mazhab Syafie kepada "yang lebih sahih." Tetapi hal sedemikian tidak terjadi dan menunjukkan bahawa maksud perkataan Imam Syafie bukanlah seperti yang mereka dakwa.

Imam Abu Hanifah sendiri misalnya tidak pernah memaksa Abu Yusuf mengikut mazhab beliau. Tetapi telah diriwayatkan pada satu ketika Imam Abu Yusuf telah melancarkan halaqah ilmunya sendiri, lalu Imam Abu Hanifah menghantar wakil untuk mengajukan beberapa soalan yang musykil kepada Imam Abu Yusuf sambil mengatakan kepada wakil tersebut sekiranya Abu Yusuf mengatakan "Ya" salah, dan sekiranya dia mengatakan "Tidak" pun salah. Akhirnya Imam Abu Yusuf kembali menghadirkan diri ke majlis Imam Abu Hanifah.

Tindakan Imam Abu Hanifah di atas bukanlah untuk memaksa Imam Abu Yusuf untuk bermazhab dengan mazhab Hanafi, tetapi untuk mengingatkan Imam Abu Yusuf bahawa beliau masih belum bersedia untuk mengemukakan ijtihad beliau sendiri walaupun beliau adalah anak murid Imam Abu Hanifah yang paling kanan.

Kesemua yang mempelajari sejarah tentu tahu bahawa Imam Abu Yusuf telah dilantik sebagai qadi besar empayar Abbasiah. Bukanlah calang-calang boleh menjadi ketua qadi pada zaman yang dipenuhi ilmuan-ilmuan berwibawa.

Mengapa hanya mengiktiraf empat mazhab dan tidak lebih?

Pada zaman Baginda s.a.w. para sahabat berpandukan ajaran yang mereka dapat secara langsung daripada Rasulullah s.a.w. sendiri. Dan selepas kewafatan Baginda s.a.w. ramai sahabat yang bertaqlid dengan pendapat mereka-mereka yang rapat dengan Bagida s.a.w. seperti khalifah rashidin, Ibnu Mas’ud dan lain-lain. Namun selepas tersebarnya agama ke seluruh pelusuk alam sahabat berhijrah ke tanah-tanah yang dijajah demi untuk mengajar kepada saudara-saudara baru mengenai Islam.

Mereka menyampaikan apa yang mereka lihat dan dengar sendiri dari Baginda s.a.w. Dan bermulalah zaman penyebaran hadis, dengan tabi’in mula mengembara dan berjumpa dengan para sahabat demi untuk mendapat ajaran sunnah Baginda s.a.w. Demikianlah juga pada zaman tabi’-tabi’in. Ketika itu taqlid terhadap individu tertentu sudahpun berlaku.

Penduduk madinah misalnya banyak bertaqlid dengan pendapat Zaid bin Thabit yang juga adalah penulis wahyu rasulullah s.a.w. Penduduk Basrah dan Kufah bergantung dengan pendapat Ibnu Mas’ud. Penduduk Syam bertaqlid dengan Muadz bin Jabal r.a dan penduduk Makkah dengan Ibnu Zubair r.a. begitulah halnya ummat ketika itu memahami bahawa kita perlu mengikut amalan mereka-mereka yang jauh memahami sunnah baginda s.a.w.

Selepas zaman sahabat sehinggalah abad ketiga hijrah memang terdapat ribuan mujtahidin seluruh dunia. Imam-imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Hasan Basri, Sufyan Thauri, Sufyan bin Uyainah, Syafie, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, Awza’i, Ishaq bin Rahwayh/Rahuyah dan lain-lain adalah di antara mereka-mereka yang mempunyai ramai pengikut dan muqallid.

Namun selepas abad keempat hanya tinggal beberapa mazhab seperti Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Awza’i, dan Zahiri. Mazhab-mazhab lain semakin sedikit pengikutnya memandangkan empat mazhab ini menjadi ikutan di kota-kota utama dunia Islam ketika itu. Hanafi dan Hanbali di Iraq, Maliki di Andalusia dan Afrika, Syafie di tanah Parsi dan di Mesir, Awza’i di tanah Syam dan hanya sebilangan kecil Zahiriyyah iaitu mereka-mereka yang bertaqlid dengan Daud az-Zhahiri.

Selepas abad kelima Awza’i dan Zahiriyyah juga lenyap walaupun pendapat mereka dibukukan oleh pengikut-pengikut mereka. Dan kekallah empat mazhab sehingga ke hari ini kerana masih mempunyai pengikut dan tradisi ini diamalkan zaman-berzaman. Ummah sejak dulu hingga kini berasa selesa dengan bertaqlid kerana mereka sedar ketidakmampuan mereka dalam berijtihad.

Dalam tempoh ummah mula bertaqlid iaitu sejak abad ketiga hijrah hingga kini terdapat ramai ulama hadis yang lahir seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i, Ibnu Majah, Baihaqi, Tahawi, Daruqutni dan lain-lain yang mana ilmu mereka dalam bidang hadis dan agama tidak dapat dinafikan oleh mana-mana pihak. Namun mereka sendiri berasa selesa dengan bertaqlid akan para imam.

Sesungguhnya bertaqlid dengan imam seperti yang dilakukan oleh jumhur ummah dan ulama adalah sesuatu yang amat mustahak lebih-lebih lagi pada masa kini yang penuh dengan kejahilan dan kekufuran. Mereka sudah memudahkan urusan ummah dalam segala segi dan bidang. Memilih untuk berijtihad sendiri dan meninggalkan ajaran mereka yang jauh lebih hebat dari kita adalah sama seperti meninggalkan Mann dan Salwa hanya semata-mata demi untuk mendapatkan timun dan bawang.

Dan Allah ta’ala jualah yang Maha Mengetahui.
Read more >>